Latest Post

Dokter Berpeci yang Penuh Prestasi

Written By ikarohis-smasa.blogspot.com on 13 Juli, 2013 | 09.10


 
Mas Bim (tengah)
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabaarakaatuh…
Wilkommen sobat Ika,

Ada yang baru nih di blog Ika Rohis, jreeengg...jreenngg…jreenggg (genjringan dalam hati), Yup..ini dia PROFIL ALUMNI. Edisi perdana Profil Alumni kita kali ini akan mengupas Profil Ketua Rohis SMASA Angkatan 2006. Norma Mukti Bimacahya, itulah nama yang diberikan oleh kedua orang tua beliau. Akrab di sapa Bima atau Mas Bim. Beliau diberi kesempatan oleh Allah untuk melihat dunia pertama kalinya pada tanggal 5 Agustus 1988. Dibesarkan di penjuru Timur kabupaten kita tercinta tepatnya di Desa Tamanan, Kecamatan Sukomoro, Mas Bim menghabiskan masa kanak-kanaknya di SDN Tamanan. Lalu, beranjak dewasa beliau hijrah ke SLTP Negeri 1 Magetan dan di sana beliau memasuki kelas 1A yang dikenal sebagai “Top Score” dimana anak-anak terpilih dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) tertinggi lah yang bisa memasuki kelas ini.

Pada masa SMP, Mas Bim tidak hanya berkutat pada urusan akademik saja, beliau pun menjajaki  kegiatan ekstrakurikuler sekolah (ekskul), seperti ekskul Karawitan. Keaktifan beliau di ekskul Karawitan ini membuat beliau tampil di acara pentas seni sekolah, hari ulang tahun sekolah, dan juga acara perpisahan sekolah. Akhirnya, setelah menyelesaikan 3 tahun pendidikan di SLTP N 1 Magetan dengan sangat baik dan membawa nama harum sekolah (baik pada ujian Nasional maupun perlombaan) mas Bim dinyatakan lulus pada tahun 2003. Dengan Nilai NEM 10 Besar Tertinggi di SLTP 1 Magetan, mas Bim melanjutkan pendidikannya di SMA N 1 Magetan, SMA terbaik di Magetan saat itu.

Pada masa SMA, sosok yang dikenal cerdas dan ramah ini menggeluti beberapa organisasi seperti Rohis, Pramuka dan PMR. Softskillsnya yang terasah dengan baik ini membawa beliau pada amanah-amanah yang tidak bisa dibilang ringan. Di Kerohanian Islam, beliau diamanahkan menjadi Ketua Rohis yang sekaligus menjadi Koordinator Islam pada Sie 1 OSIS yang membawahi seluruh aktifitas keagamaan di SMA kita tercinta. Sementara itu, di ekskul Pramuka beliau mendapat amanah sebagai Dewan Pemangku Adat. Selain soft skills yang semakin terasah, dengan berorganisasi beliau menemukan hangatnya ukhuwah bersama sahabat-sahabatnya.

Meskipun berjibaku dengan berbagai kesibukan saat SMA, beliau tidak mengesampingkan sekolah. Sosok yang prestatif ini selalu menjadi top student baik di kelas maupun di sekolah. Tak hanya itu, beliau pun sering didelegasikan oleh sekolah untuk mengikuti perlombaan baik akademis maupun non-akademis (seperti lomba Pramuka). Setelah menjalani tahun terakhir di 3 IPA 5 yang disingkat A-Lim, pada tahun 2006 Mas Bim pun diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan juga di Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK). Pilihannya saat itu pun jatuh di Pendidikan Dokter di PTN termasyur di Kota Solo, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Pada masa kuliah pun sosok ini lekat dengan tarbiyah, dakwah, organisasi dan prestasi. Sepetik info yang didapatkan admin adalah semasa kuliah beliau ditunjuk sebagai Ketua SKI FK UNS periode kepengurusan 2009. Mas yang juga santri pesantren mahasiswa Ar Royyan ini pun kerap menjadi pembicara di beberapa event.

                Wah, subhanallaah memang sosok akhi satu ini, semakin meneguhkan QS Muhammad ayat 7. Keaktifan di dakwah dan tarbiyah tak menghalanginya untuk terus maju menuju kesuksesan. Saat ditanya IKA apa definisi sukses menurut beliau, beliaupun mengambil keyword “berkah”.

 “Meraih keberkahan, berkah adalah Ziyadatul Khoir, bertambahnya kebaikan dengan kebaikan berikutnya dalam kehidupan kita”, lanjutnya.

Pertanyaan berikutnya yang IKA ajukan adalah… “Apa aja si resepnya sehingga Mas Bim bisa seperti sekarang ini?”
Jreengg..jrengg…jrengg…*lagi-lagi genjringan dalam hati*, dan jawaban beliau adalah A-K-U-B-I-S-A.
A :    Allah in My Heart
K :   Knowledge Is My Power
U:    Unfightable, Unbreakable
B:    Be Positive
I:     Impressive
S:    Success oriented, Study Oriented
A:   Action

Lagi, IKA menanyakan  “ Apa saja unforgettable moments di SMA?”

Bagi Mas Bim semua kisah tentang ukhuwah, liqo, Rohis, Pramuka, PMR semuanya berkesan.  Beliau pun menambahkan, kegiatan tafakur alam saat kelas 1 SMA begitu berkesan karena kegiatan inilah yang mengenalkan ke Rohis.  Kemudian Liqoan di DAM Jejeruk (ini IKA mikirnya liqonya sambil berendam di sungai kaya petapa-petapa gitu, hihihi..^^v), nah inilah yang mengenalkan Mas Bim dengan liqo alias liqo pertamanya Mas Bim. Next, mabit perdana di Masjid sekolah kita tercinta (Masjid Al Hakim Smasa), pertama kali QL (Qiyaumul Lail) berjamaah bareng-bareng alumni, dan sssttt..pertama kali Mas Bim dibikin nangis dalam muhasabah. Yang tak mungkin dilupakan lagi adalah kemah Pembantaraan Pramuka dan Dianpinsa (Gladian Pimpinan Sangga), dimana beliau bisa QL di deket air terjun, masih terasa sejuknya sampe sekarang, pengen ngulangi lagi,” lanjut Mas Bim.

Kemudian beliau pun teringat kembali  saat-saat lomba Pramuka di Surabaya dan Malang. “Paling inget saat matahin pialanya gara-gara tergesa sujud syukur.”

Kemudian beliau menambahkan, bahwa beliau masih terkesan dengan liqo bareng makan sate di tempat MR, momentum marak-maraknya pembahasan ruqyah di SMA, dan saat ngeliat pengumuman SPMB di DPD (jalan Gitadini-red) bareng temen-temen melingkar.

“yang jelas, segala kenangan ini menjadi salah satu alasan bagi ana untuk istiqomah di dakwah dan tarbiyah.”

Pertanyaan selanjutnya yang diajukan IKA adalah “Bagaimana Mas Bim melihat pemuda saat ini (Youth today)?”

#Ekspresif!!,lebih PD menunjukkan potensinya>> ini opportunity bagi dakwah sekolah, yuk move on!
#Cenderung hedonis, tapi di sisi lain mulai muncul  kesadaran beragama
#yang jelas, pemuda tetap jadi poros perubahan, maka bina mereka jadi da’I, iron stock, agent of change

Last but not least, “Apa pesan Mas Bim untuk adik-adik di Magetan?”

#Hidup ini terlalu indah untuk disia-siakan, maka manfaatkan! Islam itu terlalu mulia untuk tidak diperjuangkan, maka perjuangkan!!
#Dakwah ini akan tetap berjalan, baik dengan kita ataupun tanpa kita! Maka tentukan jalan dakwahmu!

Mari mendekat kepada Allah
Agar kokoh saat yang lain roboh
Agar tegar saat yang lain gentar
Agar teguh saat yang lain runtuh
Agar istiqomah di saat yang lain goyah
Don’t be sad don’t be afraid, Allah with us!


---end---

Well, itu sedikit cuplikan profil dari Mas Bim, semoga bisa lebih mendekatkan adek-adek dengan alumni kita dan tentunya bisa menginspirasi adek-adek semua.
Hmm, kira-kira sapa ya berikutnya yang bakal diulas profilnya? Who’s the next?? Stay in our readership!:D 
[admin]

Ali bin Abi Thalib dan Uang 6 Dirham

Written By ikarohis-smasa.blogspot.com on 10 Juli, 2013 | 18.32

Alkisah, Ali Bin Abi Tholib pulang ke rumah dalam keadaan lapar, kemudian Ali menemui istrinya dan bertanya,

“Wahai wanita mulia, apakah kamu punya makanan untuk suamimu?”, tanya Ali. 
“Demi Allah aku tak punya sesuatu. Ini ada enam dirham dari Salman ketika aku memintal. Akan kubelikan makanan untuk Hasan dan Husain”, kata Fatimah.


“Biar aku saja yang membeli. Mana uang itu ?”, kata Ali. Fatimah lalu memberikan uang tersebut. Ali pun bergegas pergi membeli makanan.
Namun dalam perjalanan tiba-tiba bertemu ia dengan seorang laki-laki.
"Siapa yang mau meminjami ? Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Pengasih selalu menepati janji”, seloroh lelaki tersebut.


Ali memberikan enam dirhamnya pada lelaki itu dan pulang ke rumahnya dengan tangan hampa.
Fatimah mengetahui hal itu, lalu menangis.
“Wahai Fatimah, mengapa menangis?”
“Wahai Ali, kamu pulang tanpa membawa sesuatu?”
“Wahai wanita mulia, aku telah meminjamkannya kepada Allah.”
Fatimah ra berkomentar,“Sungguh aku mendukung itu.”

Ali ra keluar ingin bertemu dengan Nabi saw. Tiba-tiba datanglah Badui kepadanya dengan seekor unta.
“Hai Abu Hasan(panggilan Ali ra)!” sapa Badui. “Belilah unta ini.”
“Aku tak mempunyai uang,” kata Ali.
“Bayar tempo saja.” Kata Badui.
“Berapa ?”
“Seratus dirham.”
“Ya kubeli.”

Sebentar kemudian datang Badui lain, “Hai Abu Hasan, apa unta ini kau jual ?”
“Ya.”
“Berapa ?”
“Tiga ratus dirham.”
"Ya, kubeli.”
Badui itu melunasinya 300 dirham dan mengambil unta tersebut.
Ali ra pulang lagi. Fatimah ra tersenyum melihat Ali. Diberikannya uang tersebut kepada Fatimah, “Apa ini, wahai Abu Hasan ?“
“Wahai putri Rasul, kubeli unta dengan bayar tempo seharga 100 dirham. Kujual lagi 300 dirham, kontan. Aku setuju.”
Kemudian Ali menemui Nabi Muhammad saw di Masjid, ketika Ali ra masuk masjid Nabi tersenyum melihatnya.
“Hai Abu Hasan! kau yang bercerita atau aku yang bercerita ?”
“Anda saja yang bercerita, wahai Rasul.”

“Hai Abu Hasan ! Tahukah kamu siapa Badui yang menjual unta dan badui lain yang membeli unta tadi ?”
“Tidak. Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
“Berbahagialah kamu. Kamu telah meminjamkan enam dirham kepada Allah. Allah memberimu 300 dirham. Tiap satu dirham mendapat ganti 50 dirham. Dan yang pertama datang kepadamu adalah Jibril as . Yang terakhir adalah Mikail as.”

            Begitulah kisah dari Ali dengan sifat dermawannya. Sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Maha Pengasih, segala sesuatu yang kita sedekahkan-korbankan-berikan jika disertai dengan niat yang ikhlas maka Allah akan membalasnya berlipat-lipat. Bagaimana dengan keburukan? Jika kebaikan mendapat balasan, maka sama halnya dengan keburukan sebagaimana disebutkan Allah dalam QS. Al Zalzalah pada ayat terakhirnya bahwa stiap keburukan meskipun hanya seberat biji zarrah akan mendapat balasan. 
Maka mari berlomba-lomba dalam kebajikan, bersama-sama menginfakkan waktu, harta, tenaga dan pikiran kita di jalan-Nya. Anggap saja waktu, harta, pikiran kita yang kita korbankan untuk dakwah ini, untuk memberikan manfaat pada orang lain itu merupakan modal yang kita pinjamkan kepada Allah. Dan percayalah bahwa Allah akan mengganti semua itu dengan balasan berkali-kali lipat, entah itu dibalas di dunia maupun di akhirat kelak. Ingat jual beli yang terbaik kan, dalam QS At Taubah 111, telah disebutkan oleh Allah, yang artinya “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. 

P.S: Pssstt...mumpung Ramadhan jangan lupa untuk memperbanyak sedekah ya sobat Ika :D
 
Sumber asli : http://1hati17an.blogspot.com/2013/07/sayyidina-ali-dengan-sedekah-6-dirhamnya.html

[admin]

Abdullah Bin Zubeir; Seorang Tokoh Syahid yang Luar Biasa

Written By serbaserbipemimpi on 23 Juni, 2013 | 22.53

Ketika menempuh padang pasir yang panas bagai menyala dalam perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah yang terkenal itu, ia masih merupakan janin dalam rahim ibunya. Demikianlah telah menjadi taqdir bagi Abdullah bin Zubeir melakukan hijrah bersama Kaum Muhajirin selagi belum muncul ke alam dunia, masih tersimpan dalam perut ibunya .... Ibunya Asma, - semoga Allah ridla kepadanya dan ia jadi ridla kepada Allah - setibanya di Quba, suatu dusun di luar kota Madinah, datanglah saat melahirkan, dan jabang bayi yang muhajir itu pun masuklah ke bumi Madinah bersamaan waktunya dengan masuknya muhajirin lainnya dari shahabat-shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasalam ... !

Bayi yang pertama kali lahir pada saat hijrah itu, dibawa  kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di rumahnya di Madinah, maka diciumnya kedua pipinya dan dikecupnya mulutnya, hingga yang mula  pertama masuk ke rongga perut Abdullah bin Zubeir itu ialah air selera Rasulullah shallallahu 'alaihi i wasallam  yang mulia. Kaum Muslimin berkumpul dan beramai-ramai membawa bayi yang dalam gendongan itu berkeliling kota sambil membaca tahlil dan takbir. Latar belakangnya ialah karena tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam  dan para shahabatnya tinggal menetap di Madinah, orang- orang Yahudi merasa terpukul dan iri hati, lalu melakukan perang urat saraf terhadap Kaum Muslimin. Mereka sebarkan berita bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir Kaum Muslimin dan membuat mereka jadi mandul, hingga di Madinah tak seorang pun akan mempunyai bayi dari kalangan mereka... !

Maka tatkala Abdullah bin Zubeir muncul dari alam gaib, hal itu merupakan suatu kenyataan yang digunakan taqdir untuk menolak kebohongan orang-orang Yahudi di Madinah dan mematahkan tipu muslihat mereka ... !

Di masa hayat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam , Abdullah belum mencapai asia dewasa. Tetapi lingkungan hidup dan hubungannya yang akrab dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, telah membentuk kerangka kepahlawanan dan prinsip hidupnya, sehingga darma baktinya dalam menempuh kehidupan di dunia ini menjadi buah bibir orang dan tercatat dalam sejarah dunia. Anak kecil itu tumbuh dengan amat cepatnya dan menunjukkan hal-hal yang luar biasa dalam kegairahan, kecerdasan dan keteguhan pendirian. Masa mudanya dilaluinya tanpa noda, seorang yang suci, tekun beribadat, hidup sederhana dan perwira tidak terkira ....

Demikianlah hari-hari dan peruntungan  itu dijalaninya dengan tabi'atnya yang tidak berubah dan semangat yang tak pernah kendor. Ia benar-benar seorang laki-laki yang mengenal tujuannya dan menempuhnya dengan kemauan yang keras membaja dan keimanan teguh luar biasa....

Sewaktu pembebasan Afrika, Andalusia dan Konstantinopel, ia yang waktu itu belum melebihi usia tujuh belas tahun, tampak sebagai salah seorang pahlawan yang namanya terlukis sepanjang masa ....

Dalam pertempuran di Afrika sendiri, Kaum Muslimin yang jumlahnya hanya duapuluh ribu sang tentara, pernah menghadapi musuh yang berkekuatan sebanyak seratus duapuluh ribu orang.

Pertempuran berkecamuk, dan pihak Islam terancam bahaya besar! Abdullah bin Zubeir melayangkan pandangannya meninjau kekuatan musuh hingga segeralah diketahuinya di mana letak kekuatan mereka. Sumber kekuatan itu tidak lain dari raja Barbar yang menjadi panglima tentaranya sendiri. Tak putus-putusnya raja itu berseru terhadap tentaranya dan membangkitkan semangat mereka dengan cara istimewa yang mendorong mereka untuk menerjuni maut tanpa rasa takut ....

Abdullah maklum bahwa pasukan yang gagah perkasa ini tak mungkin ditaklukkan kecuali dengan jatunya panglima yang menakutkan ini. Tetapi betapa caranya untuk menemuinya, padahal untuk sampai kepadanya terhalang oleh tembok kukuh dari tentara musuh yang bertempur laksana angin puyuh ... !

Tetapi semangat dan keberanian Ibnu Zubeir tak perlu diragukan lagi untuk selama-lamanya... ! Dipanggilnya sebagian kawan-kawannya, lalu katanya: "Lindungi punggungku dan mari menyerbu bersamaku... !" Dan tak ubah bagai anak panah lepas dari busurnya, dibelahnya barisan yang berlapis itu menuju raja musuh, dan demi sampai di hadapannya, dipukulnya sekali pukul, hingga raja itu jatuh tersungkur. Kemudian secepatnya bersama kawan-kawannya, ia mengepung tentara yang berada di sekeiiling raja dan menghancurkan mereka ...,lalu dikuman dangkannya Allahu Akbar... !

Demi Kaum Muslimin melihat bendera mereka berkibar di sana, yakni di tempat panglima Barbar berdiri menyampaikan perintah dan mengatur siasat, tahulah mereka bahwa kemenangan telah tercapai. Maka seolah-olah satu orang jua, mereka menyerbu ke muka, dan segala sesuatu-pun berakhir dengan keuntungan di pihak Muslimin ... !

Abdullah bin Abi Sarah, panglima tentara Islam, mengetahui peranan penting yang telah diiakukan oleh Ibnu Zubeir. Maka sebagai imbalannya disuruhnya ia menyampaikan sendiri berita kemenangan itu ke Madinah terutama kepada khalifah Utsman bin Affan....

Hanya kepahlawanannya dalam medan perang bagaimana juga unggul dan luar biasanya, tetapi itu tersembunyi di balik ketekunannya dalam beribadah ....Maka orang yang mempunyai tidak hanya satu dua alasan untuk berbangga dan menyombongkan dirinya ini akan menakjubkan kita karena selalu ditemukan dalam lingkungan orang-orang shaleh dan rajin beribadat.

Maka balk derajat maupun kemudaannya, kedudukan atau harta bendanya, keberanian atau kekuatannya, semua itu tidak mampu untuk menghalangi Abdullah bin Zubeir untuk menjadi seorang laki-laki 'abid yang berpuasa di siang hari, bangun malam beribadat kepada Allah dengan hati yang khusu' niat yang suci.

Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz mengatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah: "Cobalah ceritakan kepada kami kepribadian Abdullah bin Zubeir!" Maka ujarnya:  "Demi Allah! Tak pernah kulihat Jiwa yang tersusun dalam rongga tubuhnya itu seperti jiwanya! Ia tekun melakukan shalat, dan mengakhiri segala sesuatu dengannya. ... Ia ruku' dan sujud sedemikian rupa, hingga karena amat lamanya, maka burung-burung gereja yang bertengger di atas bahunya atau punggungnya, menyangkanya dinding tembok atau kain yang tergantung. Dan pernah peluru meriam batu lewat antara janggut dan dadanya sementara ia shalat, tetapi demi Allah, ia tidak peduli dan tidak goncang, tidak pula memutus bacaan atau mempercepat waktu ruku' nya

Memang, berita-berita sebenamya yang diceritakan orang tentang ibadat Ibnu Zubeir, hampir merupakan dongeng. Maka di dalam shaum dan shalat, dalam menunaikan haji dan serta zakat, ketinggian cita serta kemuliaan diri dalam bertenggang di waktu malam - sepanjang hayatnya - untuk bersujud dan beribadat, dalam menahan lapar di waktu siang, - juga sepanjang usianya - untuk shaum dan jihadun nafs ..., dan dalam keimanannya yang teguh kepada Allah ...dalam semua itu ia adalah tokoh satu-satunya tak ada duanya

Pada suatu kali Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu  ditanyai orang mengenai Ibnu Zubeir. Maka walaupun di antara kedua orang ini terdapat perselisihan paham, Ibnu Abbas berkata:  "Ia adalah seorang pembaca Kitabullah, dan pengikut sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam, tekun beribadat kepada-Nya dan shaum di siang hari karena takut kepada-Nya.. · Seorang putera dari pembela Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan ibunya ialah Asma puteri Shiddiq, sementara mak-tuanya ialah Khadijah istri dari Rasululiah shallallahu 'alaihi wasallam.  Maka tak ada seorang pun sedang membicarakan khalifah yang telah pergi berlalu bernama Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu, tanpa mengindahkan tata-tertib kesopanan dan tidak didasari oleh kesadaran, mereka dicelanya, katanya:  "Demi Allah, aku tak sudi meminta bantuan dalam menghadapi musuhku kepada orang-orang yang membenci Utsman ''~ Pada saat itu ia sangat memerlukan bantuan, tak ubah bagai seorang yang tenggelam membutuhkan pertolongan, tetap uluran tangan orang tersebut ditolaknya Keterbukaannya terhadap diri pribadi serta kesetiaannya terhadap aqidah dan prinsipnya, menyebabkannya tidak peduli kehilangan duaratus orang pemanah termahir yang Agama mereka tidak dipercayai dan berkenan di hatinya! Padahal waktu itu ia sedang berada dalam peperangan yang akan menentukan hidup matinya, dan kemungkinan besar akan berubah arah, seandainya pemanah-pemanah ahli itu tetap berada di sampingnya.,,.!

Kemudian pembangkangannya terhadap Mu'awiyah dan puteranya Yazid sungguh-sungguh merupakan kepahlawanan! Menurut pandangannya, Yazid bin Mu'awiyah bin Abi Sufyan itu adalah laki-laki yang terakhir kali dapat menjadi khalifah Muslimin, seandainya memang dapat ... ! Pandangannya ini memang beralasan, karena dalam soal apa pun juga, Yazid tidak becus! Tidak satu pun kebaikan dapat menghapus dosa-dosanya yang diceritakan sejarah kepada kita, maka betapa Ibnu Zubeir akan mau bai'at kepadanya, ?

Kata-kata penolakannya terhadap Mu'awiyah selagi ia masih hidup amat keras dan tegas. Dan apa pula katanya kepada Yazid yang telah naik menjadi khalifah dan mengirim utusannya kepada Ibnu Zubeir mengancamnya dengan nasib jelek apabila ia tidak membai'at pada Yazid ... ? Ketika itu Ibnu Zubeir memberikan jawabannya:  "Kapan pun, aku tidak akan bai'at kepada si pemabok ... !" kemudian katanya berpantun :  "Terhadap hal bathil tiada tempat berlunak lembut kecuali bila geraham dapat mengunyah batu menjadi lembut ".

Ibnu Zubeir tetap menjadi Amirul Mu'minin dengan mengambil Mekah al-Mukarramah sebagai ibu kota pemerintahan dan membentangkan kekuasaannya terhadap Hijaz, Yaman, Bashrah, Kufah, Khurasan dan seluruh Syria kecuali Damsyik, setelah ia mendapat bai'at dari seluruh warga kota-kota daerah tersebut di atas.

Tetapi orang-orang Banu Umaiyah tidak senang diam dan berhati puas sebelum menjatuhkannya, maka mereka melancarkan serangan yang bertubi-tubi, yang sebagian besar di antaranya berakhir dengan kekalahan dan kegagalan. Hingga akhirnya datanglah masa pemerilitahan Abdul Malik bin Marwan yang untuk menyerang Abdullah di Mekah itu memilih salah seorang anak manusia yang paling celaka dan paling merajalela dengan kekejaman dan kebuasannya ... ! Itulah dia Hajjaj ats-Tsaqafi, yang mengenai pribadinya, Umar bin Abdul Aziz, Imam yang adil itu pernah berkata:  "Andainya setiap ummat datang dengan membawa kesalahan masing-masing, sedang kami hanya datang dengan kesalahan Hajjaj seorang saja, maka akan lebih berat lagi kesalahan kami dari mereka semua... !"

Dengan mengerahkan anak buah dan orang-orang upahannya, Hajjaj datang memerangi Mekah ibukota Ibnu Zubeir. Dikepungnya kota itu serta penduduknya, selama lebih kurang enam bulan dan dihalanginya mereka mendapat makanan dan air, dengan harapan agar mereka meninggalkan Ibnu Zubeir sebatang kara, tanpa tentara dan sanak saudara. Dan karena tekanan bahaya kelaparan itu banyaklah yang menyerahkan diri, hingga Ibnu Zubeir mendapatkan dirinya tidak berteman atau kira-kira demikian .... Dan walaupun kesempatan untuk meloloskan diri dan menyelamatkan nyawanya masih terbuka, tetapi Ibnu Zubeir memutuskan akan memikul tanggung jawabnya sampai titik terakhir. Maka ia terus menghadapi serangan tentara Hajjaj itu dengan keberanian yang tak dapat dilukiskan, padahal ketika itu usianya telah mencapai tujuh puluh tahun Dan tidaklah dapat kita melihat gambaran sesungguhnya dari pendirian yang luar biasa ini, kecuali jika kita mendengar percakapan yang berlangsung antara Abdullah dengan ibunya yang agung dan mulia itu, Asma' binti Abu Bakar, yakni di saat-saat yang akhir dari kehidupannya. Ditemuinya ibunya itu dan dipaparkannya di hadapannya suasana ketika itu secara terperinci, begitupun mengenai akhir kesudahan yang sudah nyata tak dapat dielakkan lagi ....

Kata 'Asma' kepadanya:  "Anakku, engkau tentu lebih tahu tentang dirimu! Apabila menurut keyakinanmu, engkau berada di jalan yang benar dan berseru untuk mencapai kebenaran itu, maka shabar dan tawakallah dalam melaksanakan tugas itu sampai titik darah penghabisan. Tiada kata menyerah dalam kamus perjuangan melawan kebuasan budak-budak Bani Umaiyah ... ! Tetapi  kalau menurut pikiranmu, engkau hanya mengharapkan dunia, maka engkau adalah seburuk-buruk hamba, engkau  celakakan dirimu sendiri serta orang-orang yang tewas bersamamu!"

Ujar Abdullah: "Demi Allah, wahai bunda! Tidaklah ananda mengharapkan dunia atau ingin hendak mendapatkannya... ! Dan sekali-kali tidaklah anakanda berlaku aniaya dalam hukum Allah, berbuat curang atau melanggar batas ... !"

Kata Asma' pula: - 'Aku memohon kepada Allah semoga ketabahan hatiku menjadi kebaikan bagi dirimu, baik engkau mendahuluiku menghadap Allah maupun aku. Ya Allah, semoga ibadahnya sepanjang malam, shaum sepanjang siang dan bakti kepada kedua orang tuanya, Engkau terima disertai cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala sesuatu tentang dirinya kepada kekuasaan-Mu, dan aku rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah berilah aku pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubeir ini, pahalanya orang-orang yang shabar dan bersyukur ... !"

Kemudian mereka pun berpelukan menyatakan perpisahan dan selamat tinggal.. Dan beberapa saat kemudian, Abdullah bin Zubeir terlibat dalam pertempuran sengit yang tak seimbang, hingga syahid agung itu akhirnya menerima pukulan maut yang menewaskannya. Peristiwa itu menjadikan Hajjaj kuasa Abdul Malik bin Marwan berkesempatan melaksanakan kebuasan dan dendam kesumatnya, hingga tak ada jenis kebiadaban yang lebih keji kecuali dengan menyalib tubuh syahid suci yang telah beku dan kaku itu.

Bundanya, wanita tua yang ketika itu telah berusia sembilan puluh tujuh tahun, berdiri memperhatikan puteranya yang disalib. Dan bagaikan sebuah gunung yang tinggi, ia tegak menghadap ke arahnya tanpa bergerak. Sementara itu Hajjaj datang menghampirinya dengan lemah lembut dan berhina diri, katanya:  "Wahai ibu, Amirui Mu'minin Abdulmalik bin Marwan memberiku wasiat agar memperlakukan ibu dengan balk ... !" "Maka adakah kiranya keperluan ibu   ?.  Bagaikan  berteriak dengan suara berwibawa wanita itu berkata: "Aku ini bukanlah ibumu ... ! Aku adalah ibu dari orang yang disalib pada tiang karapan ..!

Tiada sesuatu pun yang kuperlukan daripadamu. Hanya aku akan menyampaikan kepadamu sebuah Hadits yang kudengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sabdanya:

"Akan muncul dari Tsaqif seorang pembohong dan seorang durjana ...! Adapun si pembohong telah sama-sama kita hetahui ....!Adapun si durjana, sepengetahuanku hanyalah hamu    I"

Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu  datang menghiburnya dan mengajak- nya bershabar. Maka jawabnya: -- "Kenapa pula aku tidak akan shahar, padahal kepala Yahya bin Zakaria sendiri telah diserahkan kepada salah seorang durjana dari durjana-durjana Bani Isra'il !".

Oh, alangkah agungnya anda, wahai puteri Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu 'anhu ... ! Memang, adakah lagi kata-kata yang lebih tepat diucapkan selain itu kepada (,rang-orang yang telah memisahkan kepala Ibnu Zubeir dari tubuhnya sebelum mereka menyalibnya !

Tidak salah! Seandainya kepala Ibnu Zubeir telah diberikan sebagai hadiah bagi Hajjaj dan Abdul Malik, maka kepala Nabi yang mulia yakni Yahya 'alaihissalam dulu juga telah diberikan sebagai hadiah bagi Salome, seorang wanita yang durjana dan hina dari Bani Israil ... ! Sungguh, suatu tamsil yang tepat dan kata-kata yang jitu ... !

Kemudian mungkinkah kiranya bagi Ahdullah bin Zubeir akan melanjutkan hidupnya di bawah tingkat yang amat tinggi dari keluhuran, keutamaan dan kepahlawanan ini, sedang yang menyusukannya ialah wanita yang demikian corak bentuk-nya

Salam kiranya terlimpah atas Abdullah ... ! Dan kiranya terlimpah pula atas Asma'...!
Salam bagi kedua mereka di lingkungan syuhada yang tidak pernah fana... !
Dan di lingkungan orang-orang utama lagi bertaqwa.

Sang Masjid

Written By ikarohis-smasa.blogspot.com on 18 Juni, 2013 | 01.10


“Assalamu’alaikum….selamat datang tamu-tamuku…..” Sambut Masjid dengan ramah, menyapa tamunya yang datang berbondong-bondong memasuki ruangannya dimalam pertama bulan ramadhan…… Dibalik perasaan bahagia yang menyelimutinya, Masjid menyimpan tanya, siapa tamu-tamu yang datang ini…?, 

Masjid merasa asing dengan wajah-wajah sumringah tamunya, hanya beberapa gelintir orang saja yang ia kenali karena setiap hari berjamaah dimasjid, sementara sisanya…? Siapa mereka..? dari mana mereka…? Dan kenapa selama ini mereka tidak pernah berkunjung dan berjamaah bersama tamu-tamu regularnya..?.

“Aaah pertanyaan nakal…” Guman Masjid “Biarlah aku tidak mengenali wajah-wajah tamuku, namun hari ini Aku sangat bahagia, aku sangat bersuka cita, aku sangat bangga dikunjungi sedemikian banyak orang yang hendak melaksanakan tarawih diruanganku………” Kebahagiaannya mengalahkan pertanyaannya seputar tamu-tamunya yang asing. Sejenak ruangan masjid menjadi penuh sesak oleh tamu-tamu yang datang, dari shaf paling depan hingga ujung ruangan paling dalam, hampir tidak ada ruang yang tersisa…, tapi….. Sang masjid kembali bertanya, “Kenapa anak-anak itu sangat gaduh…, kenapa anak-anak itu sama sekali tidak ‘menghargai’ku sebagai tempat yang suci, mereka membawa makanan kecil, mereka juga berlarian keluar masuk, sehingga mengotori lantaiku yang baru saja dibersihkan….., kenapa…? Apakah orang tua mereka tidak pernah mengajari atau memberi tahu mereka bagaimana seharusnya bersikap dimasjid…. “Aaaah mungkin juga karena mereka masih anak-anak, tapi…orang tua mereka kan umumnya orang yang berpendidikan dan Aku yakin mereka paham dan tahu benar bagaimana mendidik anak-anaknya……, “Atau jangan-jangan orang tua mereka memang tidak pernah kemasjid dan tidak pernah membawa anaknya kemasjid untuk belajar bersikap baik dimasjid…..? “Aaahaa, Aku mungkin tahu jawabanya sekarang, tamu-tamu asing itu…..ya.., tamu-tamu asing yang baru kali ini datang kemasjid….., ya itu mungkin orang tua anak-anak yang berisik itu……., bagaimana mungkin mereka bisa mengajari anaknya, kalau mereka, orang tua anak-anak itu sendiri kemasjidnya baru sekarang…….yaa Aku tahu…Aku tahu sekarang……”Sang Masjid seperti menemukan jawaban. 

Sang Masjid kembali diam, meresapi kebahagiaan atas kunjungan tamu-tamu yang berdatangan, Sang Masjid berusaha menikmati gemuruh suara “amiin’ dari jamaah yang tengah menunaikan shalat Isya….

”Aah betapa mengharukan, sekitar lima ratus orang berada diruanganku,mereka berdiri berjajar rapi, mengucapkan takbir hampir bersamaan, ruku yang bersamaan, hingga gemuruh suara amiin yang mengharukan….oooh betapa Aku saat ini merasa paling bahagia………” 
Selepas shalat Isya, tarawihan segera dimulai, Sang Masjid pun mulai menyiapkan diri untuk menyambutnya…. 

“Ashalatu sunnatatarawih rak’ataini rahimakumullah………………..” Seru bilal memulai shalat tarawih.

“Ashalatu lailaha ilallaaaahhh……………” Jawab jamaah bersahutan. Imam shalat segera berdiri, diikuti makmum. “Alhamdulillahirabbil’alamin………….arrahmanirrahiim..” Imam membaca suratul fatihah dengan sangat cepat, yang kemudian ditimpali suara makmum yang mengucapkan ‘amiiiin’ dengan nada yang tidak kalah lantang dan terkesan tidak beraturan. 

Meski hampir setiap tahun masjid selalu menyelenggarakan shalat tarawih, tetap saja Sang Masjid bertanya; “Kenapa imam itu bacaan fatihahnya cepat banget..? kenapa seperti orang yang terburu-buru atau dikejar sesuatu…? Bukankah tarawih itu shalat santai dan untuk menghidupkan malam-malam penuh berkah dibulan ramadhan…..?” Lagi-lagi Sang Masjid bertanya. “Aaah mungkin Aku terlalu berharap mereka akan berada diruangku agak lama,,,atau mungkin karena kerinduanku dengan suasana hangat seperti ini, sehingga Aku merasa gelisah ketika shalat tarawih mereka terkesan sangat buru-buru….., Aaah biarlah., mungkin mereka punya kesibukan lain, tapi setidaknya Aku bahagia sampai saat ini…..” Guman Sang Masjid lagi. 

Setelah sekitar dua puluh menit berlalu, tiba-tiba lamunan Sang Masjid kembali terusik..”Lho..lho ada apa ini…..” Tanya Sang Masjid manakala sebagian jamaah keluar, dan sebagian lagi meneruskan shalat tarawihnya. “Oooh…, mereka yang pulang itu ternyata mereka yang shalatnya 11 rakaat dengan witir, sementara yang melanjutkan itu adalah mereka yang shalatnya 23 rakaat dengan witir…….syukurlah, meski mereka berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat tarawih, mereka tetap rukun dan bisa menjalankan shalat tarawih diruanganku bersama-sama……….” Sang Masjid mensyukuri kedewasaan jamaahnya dalam menyikapi perbedaan. Setengah jam sudah berlalu, semua jamaah sudah menyelesaikan shalat tarawihnya; tiba-tiba ada ‘rasa’ yang aneh menyilimuti perasaan Sang Masjid, ia merasa cemas, apakah besok lusa, tamu-tamunya akan datang kembali memenuhi ruangannya. Masih segar dalam ingatan Sang Masjid betapa ia merasakan kesunyian yang teramat sangat ketika satu persatu jamaah yang dihari pertama mengunjunginya, berangsur mundur teratur……., hari kedua,shafnya tidak sepenuh hari pertama, hari ketiga, shaftnya kembali menyusut, hari keempat, hari kelima…,dan tepat seminggu, tamu-tamunya sudah berkurang hampir sepertiganya……………, akankah hal seperti ini akan terulang…? Akankah kesedihan karena ditinggal jamaah seperti tahun lalu akan kembali ia rasakan….? 

Dengan penuh harap Sang Masjid berdoa, semoga ramadhan kali ini, jamaah dan tamu-tamunya tetap semangat memenuhi ruangannya untuk mengabdikan dirinya kepada Sang Khaliq; semoga kesedihan yang selalu ia rasakan setiap akhir ramadhan tidak lagi ia temukan, semoga tamu-tamu asingnya kali ini, akan menjadi jamaah regularnya selepas ramadhan, semoga anak-anak yang berisik itu kelak menjadi anak-anak shaleh dan shalehah dengan didikan dan bimbingan dari orang tua dan ustadz-ustadznya, semoga………, 

“Aaah terlalu banyak Aku berharap…, semoga harapanku ini didengar oleh jamaah dan tamu-tamuku……” Guman Sang Masjid. 

Wassalam " MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN" (Sang pengembara)

Ekstase Mi'raj

Written By ikarohis-smasa.blogspot.com on 24 Maret, 2013 | 07.42

Sekiranya ku menjadi Muhammad Takkan sudi ku beranjak kebumi Setelah sampai di dekat ‘Arsyi ~Abdul Quddus-Sufi Ganggoh~ Buraq namanya. Maka ia serupa barq, kilat yang melesat dengan kecepatan cahaya. Malam itu diiring Jibril. dibawanya Rasul mulia ke Masjidil Aqsha. Khadijah, isteri setia, lambang cinta penuh pengorbanan telah tiada. Demikian juga Abu Thalib, sang pelindung penuh kasih meski tetap enggan beriman. Ia sudah meninggal.Rasul itu berduka. Ia merasa sebatang kara. Ia merasa sendiri menghadapi gelombang pendustaan, penyiksaan, dan penentangan terhadap seruan sucinya yang kian meningkat seiring bergantinya hari. Ia merasa sepi. Maka Allah hendak menguatkannya. Allah memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda kuasa-Nya. Buraq namanya. Ia diikat di pintu Masjidil Aqsha ketika seluruh Nabi dan Rasul berhimpun disana. Mereka shalat. Dan penumpangnya itu kini mengimami mereka semua. Tetapi dari sini Sang Nabi berangkat untuk perjalanan yang menyejarah. Disertai Jibril ia naik kelangit, memasuki lapis demi lapis. Bertemu Adam, Yahya, serta ‘Isa, Yusuf, Harun, Musa, dan Ibrahim. Lalu terus ke Sidratul Muntaha, Baitul Ma’mur, dan lagi menghadap Allah hingga jaraknya kurang dari dua ujung busur. Allah membuka tabir-Nya… Allah… Allah… jika melihat Yusuf yang tampan sudah membuat jari wanita teriris mati rasa, apa gerangan rasa melihat Sang Pencipta yang Maha Indah? Atau katakan padaku sahabat, apa yang kau rasakan saat melihat Ka’bah yang mulia untuk pertama kalinya? Ya, sebuah ekstase. Kita haru. Kita syahdu. Air mata menitik. Raga terasa ringan. Jiwa kita penuh. Mulut kita ternganga. Maka apa kira-kira yang dirasakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mi’raj bertemu Rabb-Nya? Kesyahduan. Keterpesonaan. Kesejukan. Kenikmatan rohani. Kelegaan jiwa. Tiada tara. Tiada tara. Tiada tara. Demi Allah, alangkah indahnya, betapa nikmatnya… Maka ada benarnya sufi ganggoh itu. Di saat mengalami puncak kenikmatan ruhani itu, tentu ada goda untuk bertahan berlama-lama disana. Kalau bisa, kita ingin menikmatinya selamanya. Atau setidaknya mengulanginya. Lagi dan lagi. Kesyahduan yang tak terlukiskan, ruhani yang terasa penuh, berkecipak, mengalun. Jiwa yang bagiakan titik air yang menyatu dengan sempurna, kedirian kita hilang ditelan kemuliaan dan keagungan Ilahi. Kita ingin mereguknya, menyesapnya, lalu rebah, dipeluk, direngkuh dan menyandarkan hati kita disitu saja. Selama-lamanya. Kenikmatan ruhani. Kekhusyu’an batin. Kita pasti ingin menikmatinya selalu. Kita menghasratkannya tiap waktu. Tapi justu di situlah salahnya. Justru di situlah kekeliruan terbesar kita. Coba tengok perjalanan mi’raj Sang Nabi. Ia tidak terjadi setiap hari. Ia terjadi sekali, hanya ketika deraan rasa sakit, badai kepiluan dan himpitan beban telah melampaui daya tahan kemanusiaan. Ia terjadi ketika Sang Rasul merasakan puncak kepayahan jiwa; da’wah yang ditolak, seruan yang diabaikan, pengikut yang tak seberapa, sahabat-sahabat yang disiksa, dan para penyokong utama satu demi satu mencukupkan usia. Maka satu hal yang kita maknai dari perjalanan mi’raj adalah, bahwa ia sekedar sebuah wafqah. Ia sebuah perhentian sejenak. Sebuah oase tempat Sang Nabi mengisi ulang bekal perjalanannya. Bekal perjuangannya. Mi’raj bukanlah titik akhir dari perjalanan itu. Merasakan kenikmatan ruhani yang dahsyat bukanlah tujuan dari perjalanan hidup dan risalahnya. Itulah yang membuat Sang Nabi dan Sang Sufi dari Ganggoh bertolak belakanag. Jika Sang Sufi memandang kenikmatan ruhani itu sebagai tujuan hidupnya, Sang Nabi sekedar menjadikannya sebuah rehat. Sejenak mengambil kembali energi ruhani, mengisi ulang stamina jiwa. Sesudah itu dunia menantinya untuk berkarya bagi kemanusiaan. Dan iapun, kata Muhamad Iqbal dalam Ziarah Abadi, menyisipkan diri ke kancah zaman. Padaku malaikat menawarkan, “Tinggallah dilangit ini, bersama syahdu sujud-sujud kami. Bersama kenikmatan-kenikmatan suci. “”Tidak”, kataku, “Di bumi masih ada angkara aniaya. Disanalah aku mengabdi, berkarya, berkorban. Hingga batas waktu yang telah ditentukan.” Inilah jalan cinta para pejuang. Para penitinya bukanlah para pengejar ekstase dan kenikmatan ruhani. Mereka adalah pejuang yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Dalam kerja-kerja besar itu, terkadang mereka merasa lelah, merasa lemah, merasa terkuras. Maka Allah menyiapkan mi’raj bagi mereka. Sang Nabi yang cinta dan kerjanya tiada tara itu memang mendapat mi’raj yang istimewa; langsung menghadap Allah ‘Azza wa Jalla. Kita, para pengikutnya, berbahagia mendapat sabdanya, “Saat mi’raj seorang mu’min adalah shalat!” Shalat, kata Sayyid Quthb, adalah hubungan langsung antara manusia yang fana dan kekuatan yang abadi. Ia adalah waktu yang telah dipilih untuk pertemuan setetes air dengan sumber yang tak pernah kering. Ia dalah kunci perbendaharaan yang mencukupi, memuaskan, dan melimpah. Ia adalah pembebasan dari batas-batas realita bumi yang kecil menuju realita alam raya. Ia adalah angin, embun, dan awan di siang hari disiang hari bolong yang terik. Ia adalah sentuhan lembut pada hati yang letih dan payah. Maka shalat adalah rehat. Ketika tulang-tulang terasa berlolosan dalam jihad, rasa kebas di otot dan kulit berkuah keringat, Sang Nabi bersabda pada Muadzinnya, “Yaa Bilal, Arihna bish shalaah… Hai Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat!” Berhala kekhusyu’an Seorang musafir berhenti disebuah masjid. Ia lelah, gerah, penat, pegal dan pening. Terlebih, sepanjang jalan ia merasa sepiditengah ramai, dan asing doitengah khalayak. Di Masjid itu ia menemukan ketenangan. Wudhunya serasa membasuh jiwa raga. Ketika air itu menyapu, ia seperti bisa melihat noktah-noktah hitam dosanya luntur berleleran, mengalir hanyut bersama air. Dalam shalatnya ia benar-benar merasa berdiri dihadapan Sang Pencipta. Tiap bacaannya seolah dijawab oleh-Nya. Ia merasakan getar keagungan. Ini pertama kalinya ia bisa terisak-isak dalam sujudnya. Hatinya diselimuti perasaan tenteream, sejuk, penuh makna. Dia merasakan sebuah ekstase. Saat lain, ia lewat dimasjid itu. Ia memang sengaja untuk shalat disana, ia rindu kekhusyu’annya. Masjid ini memancarkan keagungan. Pilar-pilarnya tegak kokoh, berlapis marmer kelabu. Kolong-kolong setengah lingkaran manis dengan ukiran geometris. Lampu-lampunya remang dibingkai logam mengilat bersegi delapan. Lantainya lembut menyambut tiap sujud, dingin menyejukkan khas granit hitam. Ia memilih shalat disebalik tiang berbalut kuningan yang berukir ayat suci. Ia mencoba menghayati shalatnya, tapi aneh. Kali ini, ia tak menemukan getar itu. Ia kehilangan kekhusyu’annya. Benar. Ia kehilangan semua perasaan itu. Tak ada ekstase. Tak ada kelezatan rohani. Tak setitikpun air matanya sudi meleleh. Dalam sesal ia mengulup salam . kekanan, lalu kekiri. Dan matanya menumbuk terjemah sebuah kaligrafi didinding selatan. Terbaca olehnya, “Barangsiapa mencari Allah, maka ia mendapatkan kekhusyu’an. Barangsiapa mengejar kekhusyu’an, ia kehilangan Allah.” Alangkah malang penyembah kekhusyu’an. Khusyu’ menjadi tujuan, bukan sarana menuju Allah subhanahu wa ta’ala. Maka, perhatian utama dalam shalatnya terleteak bagaimana caranya agar khusyu’, atau setidaknya terlihat khusyu’. Ayuhai, andai kau tahu bagaimana Sang Nabi dan para Sahabatnya shalat. Mereka mendapatkan kekhusyu’an bukan karena mencarinya. Mereka kgusyu’ karena shalat benar-benar perhentian dari aktivitas maha menguras disepanjang jalan cinta para pejuang. Mereka khusyu’ karena payahnya diri dan kelelahan yang membelit melahirkan rasa kerdil dan penghambaan sejati. Seperti para penyembah al-Masih merumit-rumitkan trinitas ketuhanan, berhala kekhusyu’an juga sering disulit-sulitkan. Tak salah sebenarnya mengutip kisah ‘Ali bin Abi Thalib meminta panahnya ketika beliau shalat. Agar sakitnya tidak terasa karena khusyu’ shalatnya. Tak salah juga meneladani Abbad Ibnu Bisyr yang tetap melanjutkan shalat meski satu demi satu anak panah mata-mata musuh menancam ditubuh. Tapi apakah hanya itu yang disebut khusyu’? Sang Nabi adalah manusia yang paling khusyu’. Dan melangkah indah kekhusu’annya. Kekhusyu’an yang seringkali mempercepat shalat ketika terdengar olehnya tangis seorang bayi. Atau memperpendek bacaan saat menyadari kehadiran jompo dalam jama’ahnya. Kekhusyu’an yang tak menghalanginya menggendong Ummah binti Abi Ash. Atau al-Hasan ibnu ‘Ali dalam berdirinya dan meletakkan mereka ketika sujud. Kekhusyu’an yang membuat sujudnya begitu panjang karena al-Husain ibnu ‘Ali main kuda-kudaan dipunggungnya. Sahabat, inilah jalan cinta para pejuang. Kekhusyu’an dan gelora kenikmatan rohani hanyalah hiburan dan rehat, tempat kita mengisi kembali perbekalan dan melepas penat. Ini adalah jalan cinta para pejuang. Bukan jalan para pengejar kenikmatan ruhani, sehingga harus mengulang-ulang takbiratul ihram sampai sang Imam ruku’. Ini bukan jalan para penikmat kelaparan yang takutan berkumur saat puasa, tapi diam saja menyaksikan kezaliman. Juga bukan jalan para penukmat ka’bah yang kecanduan berhaji, sementara fakir miskin telah mengetuk pintu rumahnya yang selalu terkunci. Senarai sejarah memberi tentang para kenikmatan rohani. Mereka jauh terlempar dari jalan cinta ini. Ada yang merasa diri menjadi mu’min yang baik, karena bisa menangis saat shalat, bisa terharu saat membagi zakat, bisa berdzikir hingga hilang kesadaran saat berpuasa, atau berhaji setahun sekali; terbuta mereka dari dunia islam yang serak memanggil-manggil. Inilah mereka yang selalu bicara mengenai agama sebagai urusan pribadi. Urusan pribadi untuk menikmati kesyahduan spiritual. Bagi mereka, alangkah nikmatnya shalat khusyu’ diatas sajadah mahal dalam ruangan berpendingin, dengan setting pemandangan yang bisa diatur berganti-ganti. Khusyu’ adalah menikmati bacaan imam bersetifikat dari audio remio, dalam hembusan harum farmu aromaterapi. Jauh disana, dijalan cinta para pejuang Sang Nabi shalat disela-sela jihad menegakkan syari’at. Dengan debu, dengan darah, dengan lelah, dengan payah. Yang lain, mencari pelarian darei tekanan dunia yang menghimpit. Menikmati rasa tenteram karena dzikirnya, rasa melayang karena laparnya, rasa syahdu karena gigil tubuhnya. Ia bertapa dalam pakaian campingnya, hidup dalam kefakirannya lalu merasa menjadi makhluk yang paling dicintai Allah. Tapi tak pernah wajah mereka memerah karena syari’at Allah dilecehkan. Tak pernah ia terluka melihat kezhaliman. Orang-orang semacam sufi dari Gangoh. Dialah si burung unta yang merasa aman saat membenamkan kepalanya kedalam pasir. Padahal tubuhnya tepat di depan pelupuk pemburu. Ekstase. Kenikm atan ruhani. Kekhusyu’an. Jangan kau kejar rasa itu. Dia bukan tuhanmu. Dan tak hanya muslim yang beroleh kemungkinan merasakan ekstase macam itu. Tanyakan pada seorang beragama Budha, penganut Zen, Tao, atau praktikan Yoga. Merekapun mengalaminya lewat meditasi dan rerupa puja. Seorang Nasrani dari Ordo Fransiskan yang melarat merasakannya dalam pengembaraan berjalan kai ala kemiskinan Kristus. Seorang Nasrani dari Ordo Benediktan yang mewah menikmatinya dalam mengoleksi relik-relik suci peninggalan para bapa gerejawi. Bukan itu. Bukan itu yang kita cari. Dijalan cinta para pejuang, berbaktilah pada Allah dalam kerja-kerja da’wah dan jihad. Menebar kebajikan, menghentikan kebiadaban, menyeru pada iman. Larilah menuju-Nya. Meloncatlah hanya ke haribaan-Nya. Walau duri merantaskan kaki. Sampai engkau lelah. Sampai engkau payah. Samapai keringat dan darah tumpah. Maka kekhusyu’an akan dating kepadamu ketika engkau beristirahat dalam shalat. Saat engkau rasakan puncak kelemahan diri di hadapan Yang Maha Kuat. Lalu kaupun pasrah, berserah… Saat itulah, engkau mungkin melihat-Nya, dan Dia pasti melihatmu… Sepenuh Cinta… Salim A. Fillah

Yang Bermata Sayu

Written By ikarohis-smasa.blogspot.com on 22 Maret, 2013 | 01.55



Jalan berbukit dan berkelok2 bukanlah apa.
dilaluinya dengan senyuman..
terjalnya aspal yang telah menjelma menjadi bebatuan kecil bukanlah suatu halangan..
terkadang gerimis membelainya...

namun tetap lah bukan suatu yang dapat menghentikan langkahnya..
hatinya di penuhi gelora membara dengan azzam berlapis baja..
matanya yang sayu berapi2 oleh semangatnya menemui kami,kami yang begitu ia cintai....

dalam jalannya,..
ia tak lelah2nya berdzikir menyeru asmaNya,...
Nya yang begitu ia cintai lebih dari apapun di dunia ini...
Nya yang telah mempertemukan kami dan menumbuhkan rasa cinta antara kami...

terkadang dalam dzikirnya terselip doa2nya untuk kami...
hingga lebahpun malu2 mencuri dengar doa sederhana itu....
"ya Allah...ijnkan kami bersama tetap dalam dekapan kasihMu mengetuk pintu JannahMu...dan janganlah sesekali terpisah diantara kami, namun tambahkanlah jumlah kami.. ya Allah.. ijin kan hamba menemui mereka dalam majelis yang mana para malaikatMu mendoakan atas kami. majelis yang menggelora kan asmaMu.."

dan kupu2 pun ikut mendoakan nya dalam tarian dzikirnya "ya ALlah..kabulkan doa nya..sungguh betapa mulia hati nya dan semua hanya untuk umat ini dan Engkau.."

Allah pun berbesar hati mengabulkan doa2 hambanya..
di ijinkannya hujan berhenti agar tak membuat jalanan licin dan pandangan kabur.. di ijinkannya awan hitam kembali pulang, agar mentari mampu membagi semangatnya bersama murrobi sederhana itu....
dan sampailah ia di majelis yang ia nanti2 harap cemas...

"mbak arii...assalamu'alaykum,,,.. mbak.. gmana nih...yg dtg cuma 4. yg 5 ijin. yg 10 gtw kmn...."

kecewa, itu yang terpikir oleh kami.
namun murrobi sederhana itu tetap tersenyum dan berucap,"ya sudah..tak apa..besok teman2Y di ajak lagi ya... ayo kita mulai liqo'nya. siapa yang jadi MC??kultum??"

begitulah ia...
seorang sederhana dengan senyum yang khas dan mata sayu...
tanpa ia lelah berdoa untuk kami...
kami yang nakal dan punya sejuta alibi untuk bolos liqo'...
betapa ia tanpa lelah tersenyum dan bersabar menunggu kami....

Yang beliau harap dari kami tidak ucapan terima kasih...
atau bingkisan idul fitri maupun seikat bunga...
Yang ia ingin kan hanya lah kami tetap berada dalam jalan-Nya...
tetap dan selalu bergandengan tangan...
tetap dalam dekapan ukhuwah...
dan hal ini terus berlanjut...

By: Cik Sasmi

Dakwah Adalah Cinta

...
Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yg kau cintai. Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yg menempel di tubuh rentamu. Tubuh yg luluh lantak diseret-seret. .. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.

Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yg diturunkan Allah. Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yg bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang. Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khathab juga terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar yang perkasa pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik? Akhirnya diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang sholih, yang sedang bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat.

Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan. Tidak… Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”. Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani… justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi. Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada. Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad yang begitu cantik. Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada abu Bakar. Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi kewajaran. Dan menjadi semacam tonik bagi iman..

Karena itu kamu tahu. Pejuang yg heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore. Yg takjub pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya besar. Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya Allah, berilah dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang… “

Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. Jasadnya dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta… Mengajak kita untuk terus berlari… 

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu. Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu. 

Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”

(alm. Ust Rahmat Abdullah)

Pelajaran dari Perang Uhud

Written By ikarohis-smasa.blogspot.com on 17 Maret, 2013 | 22.11


Oleh: DR. Amir Faishol Fath

Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran:165)

Ayat ini menggambarkan kondisi umat Islam pada saat mengalami kekalahan dalam perang Uhud.  Mereka kehilangan tujuh puluh syuhada, ditambah lagi dengan sejumlah korban luka-luka. Padahal mereka berjuang di jalan Allah. Sementara musuh mereka orang-orang kafir berjuang di jalan setan. Sebelumnya, pada saat perang Badar, mereka menang, dan bisa menggugurkan tujuh puluh orang, serta bisa menangkap tujuh puluh tawanan dari pasukan kafir. Mengapa kekalahan itu terjadi di Uhud, padahal jumlah mereka di Uhud lebih banyak dari pada di Badar? Ayat di atas menjawab pertanyaan ini. Kerapian Sistem “Sunnatullah” Allah swt. berfirman, “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada perang Badar) kamu berkata: dari mana kekalahan ini?” Maksudnya: Mengapa kamu mempertanyakan kekalahanmu? Apakah kamu mengira bahwa kamu tidak akan pernah kalah sekalipun kamu lalai akan tugas-tugasmu? Apakah kamu tetap yakin bahwa Allah akan menolongmu, sementara kamu tidak komitmen dengan sunnatullah? Tidak, tidak demikian pemahaman yang harus kamu jalani dalam berjuang di jalan Allah. Allah swt. telah meletakkan sistem-Nya (baca: sunnatullah) di alam ini dengan sangat rapi. Siapa yang mengikuti sistem ini dengan baik, ia akan berhasil, dan siapa yang mengabaikannya ia akan gagal. Tidak ada langkah dan perbuatan kecuali harus seirama dengan sistem yang sudah ada. Termasuk dalam menjalankan tugas dakwah komitmen ini juga harus selalu dipertahankan, jangan sampai ada langkah apapun yang kemudian menyebabkan hancurnya semua usaha yang telah dibangun. Seorang aktivis dakwah harus selalu menyadari makna ini, karena tidak mustahil sebuah kesalahan kecil yang dianggap remeh, lama kelamaan akan menjadi besar. Ayat di atas setidaknya telah memberikan pelajaran, bahwa para aktivis dakwah harus selalu mempertahankan kualitas amal: amal secara fardiyah maupun amal secara jamaiyah. Menurunnya kualitas amal fardiyah tidak mustahil akan berdampak pada kualitas amal jamaiyah. Dan menurunnya kualitas amal jamaiyah sudah barang tentu akan berdampak kepada masyarakat umum secara lebih luas. Dampak tersebut bila sudah terjadi, ia akan menimpa siapa pun, tidak pandang bulu. Ayat di atas adalah gambaran kekalahan yang menimpa masyarakat Sahabat di dalamnya ada Rasulullah saw. Perhatikan, siapa yang akan mengira bahwa masyarakat sekualitas sahabat dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. akan mengalami kekalahan? Tetapi ternyata itu terjadi, hanya karena kelengahan segelintir dari mereka. Lengah karena terpedaya oleh harta rampasan yang berserakan. Suatu tindakan yang kemudian membuat mereka lalai akantugas yang harus mereka perjuangkan.

Seringkali terjadi memang, ketika kemenangan dicapai, orang tertipu dengan keberhasilan. Seakan perjalanan sudah selesai. Sehingga ia tidak hati-hati lagi seperti kehati-hatiannya dulu sebelum kemenangan dicapai. Lebih-lebih ketika harta melimpah seperti yang ditemukan pasukan kaum muslimin di Uhud, mereka seketika tertipu dengan secuil harta yang sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding dengan kenikmatan di surga. Ketertipuan itu membuat mereka lupa kepada pesan pertama Rasulullah saw, agar tetap bertahan pada posisinya sampai ada perintah lebih lanjut. Itulah yang kemudian terjadi, mereka kemudian kalah, buah dari kelalaian yang mereka perbuat. Karenanya Allah menegaskan: qul huwa min indi anfusikum (Katakanlah, “Itu (kesalahan) dirimu sendiri”).

Kesalahan Diri Sendiri
Firman Allah: qul huwa min indi anfusikum, menegaskan makna yang sangat dalam mengenai beberapa hal: Pertama, bahwa Allah swt. tidak pernah berbuat zhalim. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri”. (Yunus:44) Di ayat lain Allah menceritakan bahwa umat terdahulu pernah diadzab karena perbuatan mereka sendiri, “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”(Al Ankabuut:40). Maka setiap bencana dan malapetaka yang manusia alami asal muasalnya adalah perbuatan manusia itu sendiri, “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zhalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zhalim kepada diri sendiri (Ar-Rum:9).

Kedua, bahwa setiap musibah yang menimpa manusia, itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Di sini nampak bahwa kualitas pekerjaan apapun sangat ditentukan oleh manusianya. Lebih-lebih bila pekerjaan tersebut tergolong amal dakwah, maka sungguh sangat menuntut keistiqamahan pelakunya dalam menjalankan kewajibannya kepada Allah. Semakin sungguh-sungguh seorang aktivis dakwah dalam menjalani hakikat kehambaan-Nya kepada Allah, maka juga akan semakin produktif dakwah yang dijalaninya. Sebaliknya bila seorang aktivis mulai tertipu dengan gemerlap dunia seperti tertipunya pasukan Uhud pada saat menemukan tanda-tanda kemenangan, maka di situlah titik runtuhnya amal dakwah itu akan bermula. Inilah pengertian dari firman-Nya: qul huwa min indi anfusikum. Maksudnya: kegagalan itu dari dirimu sendiri, dirimu yang tertipu dengan gemerlap dunia, sehingga kemudian amal dakwah kau kesampingkan. Maka bila dakwah yang kau lakukan tidak memberikan keberkahan, melainkan malah menyeret fitnah dan kemunkaran itu asal-muasalnya adalah perbuatan pelakunya. Boleh jadi seseorang yang tadinya tulus berdakwah, tetapi kemudian setelah dunia mulai melimpah, ia berubah haluan, dunia malah menjadi tujuan. Orang yang seperti ini akan mendapatkan akibat dari perbuatannya sendiri, di mana akibat tersebut bisa jadi akan menimpa semua orang tak terkecuali, seperti kekalahan yang telah menimpa para sahabat dan Rasulullah di medan Uhud.

Ketiga, bahwa perjuangan seorang aktivis dakwah untuk tetap istiqamah dalam menjalani kewajibannya, adalah bagian dari sunnatullah yang harus selalu dipertahankan. Sedikit lengah dan tertipu oleh kepentingan sesaat, ia akan terjerembab ke dalam kegagalan. Dakwah yang diucapkan akan menjadi sekadar jargon tanpa jiwa. Akibatnya Allah swt. tidak akan menurunkan bantuan-Nya. Bila Allah menolak untuk membantunya, maka itu suatu tanda hilangnya keberkahan dalam kerja dakwah tersebut. Bila keberkahannya hilang, jangan di harap amal dakwah yang ditawarkan akan menjadi bermanfaat, melainkan malah akan menjadi ancaman bagi pelakunya. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan (Ash-Shaf:2)

Perhatikan betapa kerja dakwah sangat menuntut masing-masing aktivisnya untuk senantiasa mempertahankan dan meningkatkan kualitas kepribadiannya: baik sebagai hamba Allah yang tercermin dalam kekhusu’an ibadahnya, maupun sebagai aktivis yang selalu menjadikan dakwah sebagai medan utama perjuangannya. Dari sini jelas, bahwa perjuangan di jalan dakwah menuntut ketabahan pelakunya dalam menjaga secara terus-menerus kualitas dirinya, kualitas ketaatannya kepada Allah dan kualitas amal dakwahnya. Kualitas yang benar-benar mencerminkan makna kesungguhan, keseriusan dan pengorbanan secara jujur (baca: itqaan) dalam menjalankan tugas-tugas dakwah yang dipikulnya. Inilah yang kita kenal dengan istilah: al muhafadzah alaa jaudatil junuud (memelihara kualitas aktivis dakwah).

Keharusan Memelihara Dan Meningkatkan Kualitas Diri
Pengertian lebih lanjut dari makna ayat: qul huwa min indi anfusikum adalah bahwa kualitas diri merupakan faktor penentu dari berhasil tidaknya sebuah usaha apapun, lebih-lebih amal dakwah. Terutama ketika amal dakwah tersebut sudah berjalan, dan mulai merambah tanda-tanda keberhasilan. Di sini upaya pemeliharaan dan peningkatan kualitas diri sangatlah diperlukan. Sebab tanpa pemeliharaan dan peningkatan amal dakwah pasti akan mengalami penurunan. Bahkan tidak mustahil timbulnya gesekan-gesekan internal akan selalu terjadi. Dari gesekan-gesekan ini kemudian muncul gelembung perpecahan yang pada gilirannya menghanyutkan hasil usaha yang sudah dibangun sekian lama. Perhatikan peristiwa perang Uhud yang tadinya umat Islam sudah mendekati kemenangan, namun akhirnya malah berbalik menjadi kekalahan, di mana sebab utamanya adalah: qul huwa min indi anfusikum. Artinya mereka tidak bisa memelihara kualitas diri yang membuat mereka menang, padahal mereka pernah mencapainya di perang Badar dan di permulaan perang Uhud. Anehnya kualitas diri tersebut malah mereka lepaskan, dan dari situlah kemudian mereka tidak memenuhi syarat untuk menang, karenanya mereka kalah.

Oleh sebab itu, pemeliharaan dan peningkatan kualitas diri adalah merupakan keniscayaan untuk terus melanjutkan perjuangan dakwah. Sebab tidak mungkin sebuah perjalanan dakwah akan terus berlangsung dengan baik, apalagi meningkat, bila di tengah jalan para aktivisnya mengalami degradasi. Kerja dakwah adalah kerja yang tidak mungkin dipikul oleh segelintir orang, melainkan harus dipikul bersama-sama. Karenanya tidak mungkin dalam hal ini hanya mengandalkan kerja keras sebagian orang lalu yang lain tidak mengimbanginya. Dakwah menuntut keseimbangan secara utuh dalam segala dimensinya: dimensi spiritual, intelektual, material dan moral. Seorang aktivis dakwah adalah seorang selalu memelihara hakikat ini secara seimbang dalam dirinya dan dalam kebersamaannya dengan yang lain. Bila keseimbangan ini hilang, tentu akan terjadi ketimpangan. Dan dari ketimpangan ini kemudian muncul kegagalan. Kegagalan perang Uhud seperti yang ditegaskan dalam ayat di atas adalah contoh nyata yang sangat jelas. Sampai pun peperangan tersebut dipimpin langsung oleh Rasulullah saw, tetapi karena kesalahan sebagian dari mereka yang tidak sanggup memelihara kualitas diri, akhirnya mengakibatkan semuanya menjadi berantakan.

Penyakit seperti ini seringkali terjadi dalam perjalanan dakwah. Bila di awal langkahnya para aktivis selalu semangat, tetapi di tengah perjalanan semangat membara itu seringkali kehabisan nafas. Akibatnya dakwah menjadi korban. Karenanya Allah tutup ayat di atas dengan penegasan, “innallaaha ‘laa kulli sya’in qadiir” (sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu). Itu untuk menggambarkan ketegasan sunnatullah (baca: sebab akibat). Bahwa Allah Maha Kuasa menjalankan sunnah-Nya tersebut secara sempurna. Tidak bisa ditawar-tawar. Siapa yang sungguh-sungguh mengikuti sunnah tersebut akan berhasil. Dan siapa yang mengabaikannya ia akan gagal sekalipun ia beriman kepada-Nya. Manusia diciptakan oleh Allah bukan untuk menandingi-Nya. Sehebat-hebat manusia, ia tidak akan pernah mampu menandingi kekuasaan-Nya. Allah tetap Maha Kuasa dan manusia tetap maha lemah di hadap-Nya. Maka ketika Allah membekali akal dan segala keilmuan kepada manusia itu semuanya tidak akan pernah mencapai level kekuasaan-Nya. Karenanya ia tidak bisa independen total dari Allah. Ia dengan segala pencapaiannya tetap harus tunduk kepada-Nya. Lebih dari itu ia juga harus tetap memelihara ketundukan ini secara maksimal sampai ia menghadap-Nya. Bila ini yang ia lakukan ia akan berhasil tidak saja secara personal, melainkan juga secara sosial dalam kebersamaannya dengan yang lain. Sebaliknya bila ia gagal memelihara dan meningkatkan tingkat ketundukan yang pernah ia capai, ia pasti akan gagal, tidak saja di dunia melainkan juga di akhirat. Wallahu a'lam bishshawab.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. IKA ROHIS SMASA MAGETAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger