Ekstase Mi'raj
Written By ikarohis-smasa.blogspot.com on 24 Maret, 2013 | 07.42
Sekiranya ku menjadi Muhammad
Takkan sudi ku beranjak kebumi
Setelah sampai di dekat ‘Arsyi
~Abdul Quddus-Sufi Ganggoh~
Buraq namanya. Maka ia serupa barq, kilat yang melesat dengan kecepatan cahaya. Malam itu diiring Jibril. dibawanya Rasul mulia ke Masjidil Aqsha. Khadijah, isteri setia, lambang cinta penuh pengorbanan telah tiada. Demikian juga Abu Thalib, sang pelindung penuh kasih meski tetap enggan beriman. Ia sudah meninggal.Rasul itu berduka. Ia merasa sebatang kara. Ia merasa sendiri menghadapi gelombang pendustaan, penyiksaan, dan penentangan terhadap seruan sucinya yang kian meningkat seiring bergantinya hari. Ia merasa sepi. Maka Allah hendak menguatkannya. Allah memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda kuasa-Nya.
Buraq namanya. Ia diikat di pintu Masjidil Aqsha ketika seluruh Nabi dan Rasul berhimpun disana. Mereka shalat. Dan penumpangnya itu kini mengimami mereka semua. Tetapi dari sini Sang Nabi berangkat untuk perjalanan yang menyejarah. Disertai Jibril ia naik kelangit, memasuki lapis demi lapis. Bertemu Adam, Yahya, serta ‘Isa, Yusuf, Harun, Musa, dan Ibrahim. Lalu terus ke Sidratul Muntaha, Baitul Ma’mur, dan lagi menghadap Allah hingga jaraknya kurang dari dua ujung busur. Allah membuka tabir-Nya…
Allah… Allah… jika melihat Yusuf yang tampan sudah membuat jari wanita teriris mati rasa, apa gerangan rasa melihat Sang Pencipta yang Maha Indah? Atau katakan padaku sahabat, apa yang kau rasakan saat melihat Ka’bah yang mulia untuk pertama kalinya? Ya, sebuah ekstase. Kita haru. Kita syahdu. Air mata menitik. Raga terasa ringan. Jiwa kita penuh. Mulut kita ternganga. Maka apa kira-kira yang dirasakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mi’raj bertemu Rabb-Nya? Kesyahduan. Keterpesonaan. Kesejukan. Kenikmatan rohani. Kelegaan jiwa. Tiada tara. Tiada tara. Tiada tara.
Demi Allah, alangkah indahnya, betapa nikmatnya…
Maka ada benarnya sufi ganggoh itu. Di saat mengalami puncak kenikmatan ruhani itu, tentu ada goda untuk bertahan berlama-lama disana. Kalau bisa, kita ingin menikmatinya selamanya. Atau setidaknya mengulanginya. Lagi dan lagi. Kesyahduan yang tak terlukiskan, ruhani yang terasa penuh, berkecipak, mengalun. Jiwa yang bagiakan titik air yang menyatu dengan sempurna, kedirian kita hilang ditelan kemuliaan dan keagungan Ilahi. Kita ingin mereguknya, menyesapnya, lalu rebah, dipeluk, direngkuh dan menyandarkan hati kita disitu saja. Selama-lamanya.
Kenikmatan ruhani. Kekhusyu’an batin. Kita pasti ingin menikmatinya selalu. Kita menghasratkannya tiap waktu.
Tapi justu di situlah salahnya.
Justru di situlah kekeliruan terbesar kita.
Coba tengok perjalanan mi’raj Sang Nabi. Ia tidak terjadi setiap hari. Ia terjadi sekali, hanya ketika deraan rasa sakit, badai kepiluan dan himpitan beban telah melampaui daya tahan kemanusiaan. Ia terjadi ketika Sang Rasul merasakan puncak kepayahan jiwa; da’wah yang ditolak, seruan yang diabaikan, pengikut yang tak seberapa, sahabat-sahabat yang disiksa, dan para penyokong utama satu demi satu mencukupkan usia. Maka satu hal yang kita maknai dari perjalanan mi’raj adalah, bahwa ia sekedar sebuah wafqah. Ia sebuah perhentian sejenak. Sebuah oase tempat Sang Nabi mengisi ulang bekal perjalanannya. Bekal perjuangannya.
Mi’raj bukanlah titik akhir dari perjalanan itu. Merasakan kenikmatan ruhani yang dahsyat bukanlah tujuan dari perjalanan hidup dan risalahnya. Itulah yang membuat Sang Nabi dan Sang Sufi dari Ganggoh bertolak belakanag. Jika Sang Sufi memandang kenikmatan ruhani itu sebagai tujuan hidupnya, Sang Nabi sekedar menjadikannya sebuah rehat. Sejenak mengambil kembali energi ruhani, mengisi ulang stamina jiwa. Sesudah itu dunia menantinya untuk berkarya bagi kemanusiaan. Dan iapun, kata Muhamad Iqbal dalam Ziarah Abadi, menyisipkan diri ke kancah zaman.
Padaku malaikat menawarkan, “Tinggallah dilangit ini, bersama syahdu sujud-sujud kami. Bersama kenikmatan-kenikmatan suci. “”Tidak”, kataku, “Di bumi masih ada angkara aniaya. Disanalah aku mengabdi, berkarya, berkorban. Hingga batas waktu yang telah ditentukan.”
Inilah jalan cinta para pejuang. Para penitinya bukanlah para pengejar ekstase dan kenikmatan ruhani. Mereka adalah pejuang yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Dalam kerja-kerja besar itu, terkadang mereka merasa lelah, merasa lemah, merasa terkuras. Maka Allah menyiapkan mi’raj bagi mereka. Sang Nabi yang cinta dan kerjanya tiada tara itu memang mendapat mi’raj yang istimewa; langsung menghadap Allah ‘Azza wa Jalla. Kita, para pengikutnya, berbahagia mendapat sabdanya, “Saat mi’raj seorang mu’min adalah shalat!”
Shalat, kata Sayyid Quthb, adalah hubungan langsung antara manusia yang fana dan kekuatan yang abadi. Ia adalah waktu yang telah dipilih untuk pertemuan setetes air dengan sumber yang tak pernah kering. Ia dalah kunci perbendaharaan yang mencukupi, memuaskan, dan melimpah. Ia adalah pembebasan dari batas-batas realita bumi yang kecil menuju realita alam raya. Ia adalah angin, embun, dan awan di siang hari disiang hari bolong yang terik. Ia adalah sentuhan lembut pada hati yang letih dan payah.
Maka shalat adalah rehat. Ketika tulang-tulang terasa berlolosan dalam jihad, rasa kebas di otot dan kulit berkuah keringat, Sang Nabi bersabda pada Muadzinnya, “Yaa Bilal, Arihna bish shalaah… Hai Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat!”
Berhala kekhusyu’an
Seorang musafir berhenti disebuah masjid. Ia lelah, gerah, penat, pegal dan pening. Terlebih, sepanjang jalan ia merasa sepiditengah ramai, dan asing doitengah khalayak. Di Masjid itu ia menemukan ketenangan. Wudhunya serasa membasuh jiwa raga. Ketika air itu menyapu, ia seperti bisa melihat noktah-noktah hitam dosanya luntur berleleran, mengalir hanyut bersama air. Dalam shalatnya ia benar-benar merasa berdiri dihadapan Sang Pencipta. Tiap bacaannya seolah dijawab oleh-Nya. Ia merasakan getar keagungan. Ini pertama kalinya ia bisa terisak-isak dalam sujudnya. Hatinya diselimuti perasaan tenteream, sejuk, penuh makna. Dia merasakan sebuah ekstase.
Saat lain, ia lewat dimasjid itu. Ia memang sengaja untuk shalat disana, ia rindu kekhusyu’annya. Masjid ini memancarkan keagungan. Pilar-pilarnya tegak kokoh, berlapis marmer kelabu. Kolong-kolong setengah lingkaran manis dengan ukiran geometris. Lampu-lampunya remang dibingkai logam mengilat bersegi delapan. Lantainya lembut menyambut tiap sujud, dingin menyejukkan khas granit hitam.
Ia memilih shalat disebalik tiang berbalut kuningan yang berukir ayat suci. Ia mencoba menghayati shalatnya, tapi aneh. Kali ini, ia tak menemukan getar itu. Ia kehilangan kekhusyu’annya. Benar. Ia kehilangan semua perasaan itu. Tak ada ekstase. Tak ada kelezatan rohani. Tak setitikpun air matanya sudi meleleh. Dalam sesal ia mengulup salam . kekanan, lalu kekiri. Dan matanya menumbuk terjemah sebuah kaligrafi didinding selatan. Terbaca olehnya, “Barangsiapa mencari Allah, maka ia mendapatkan kekhusyu’an. Barangsiapa mengejar kekhusyu’an, ia kehilangan Allah.”
Alangkah malang penyembah kekhusyu’an. Khusyu’ menjadi tujuan, bukan sarana menuju Allah subhanahu wa ta’ala. Maka, perhatian utama dalam shalatnya terleteak bagaimana caranya agar khusyu’, atau setidaknya terlihat khusyu’. Ayuhai, andai kau tahu bagaimana Sang Nabi dan para Sahabatnya shalat. Mereka mendapatkan kekhusyu’an bukan karena mencarinya. Mereka kgusyu’ karena shalat benar-benar perhentian dari aktivitas maha menguras disepanjang jalan cinta para pejuang. Mereka khusyu’ karena payahnya diri dan kelelahan yang membelit melahirkan rasa kerdil dan penghambaan sejati.
Seperti para penyembah al-Masih merumit-rumitkan trinitas ketuhanan, berhala kekhusyu’an juga sering disulit-sulitkan. Tak salah sebenarnya mengutip kisah ‘Ali bin Abi Thalib meminta panahnya ketika beliau shalat. Agar sakitnya tidak terasa karena khusyu’ shalatnya. Tak salah juga meneladani Abbad Ibnu Bisyr yang tetap melanjutkan shalat meski satu demi satu anak panah mata-mata musuh menancam ditubuh. Tapi apakah hanya itu yang disebut khusyu’?
Sang Nabi adalah manusia yang paling khusyu’. Dan melangkah indah kekhusu’annya. Kekhusyu’an yang seringkali mempercepat shalat ketika terdengar olehnya tangis seorang bayi. Atau memperpendek bacaan saat menyadari kehadiran jompo dalam jama’ahnya. Kekhusyu’an yang tak menghalanginya menggendong Ummah binti Abi Ash. Atau al-Hasan ibnu ‘Ali dalam berdirinya dan meletakkan mereka ketika sujud. Kekhusyu’an yang membuat sujudnya begitu panjang karena al-Husain ibnu ‘Ali main kuda-kudaan dipunggungnya.
Sahabat, inilah jalan cinta para pejuang. Kekhusyu’an dan gelora kenikmatan rohani hanyalah hiburan dan rehat, tempat kita mengisi kembali perbekalan dan melepas penat. Ini adalah jalan cinta para pejuang. Bukan jalan para pengejar kenikmatan ruhani, sehingga harus mengulang-ulang takbiratul ihram sampai sang Imam ruku’. Ini bukan jalan para penikmat kelaparan yang takutan berkumur saat puasa, tapi diam saja menyaksikan kezaliman. Juga bukan jalan para penukmat ka’bah yang kecanduan berhaji, sementara fakir miskin telah mengetuk pintu rumahnya yang selalu terkunci.
Senarai sejarah memberi tentang para kenikmatan rohani. Mereka jauh terlempar dari jalan cinta ini. Ada yang merasa diri menjadi mu’min yang baik, karena bisa menangis saat shalat, bisa terharu saat membagi zakat, bisa berdzikir hingga hilang kesadaran saat berpuasa, atau berhaji setahun sekali; terbuta mereka dari dunia islam yang serak memanggil-manggil.
Inilah mereka yang selalu bicara mengenai agama sebagai urusan pribadi. Urusan pribadi untuk menikmati kesyahduan spiritual. Bagi mereka, alangkah nikmatnya shalat khusyu’ diatas sajadah mahal dalam ruangan berpendingin, dengan setting pemandangan yang bisa diatur berganti-ganti. Khusyu’ adalah menikmati bacaan imam bersetifikat dari audio remio, dalam hembusan harum farmu aromaterapi. Jauh disana, dijalan cinta para pejuang Sang Nabi shalat disela-sela jihad menegakkan syari’at. Dengan debu, dengan darah, dengan lelah, dengan payah.
Yang lain, mencari pelarian darei tekanan dunia yang menghimpit. Menikmati rasa tenteram karena dzikirnya, rasa melayang karena laparnya, rasa syahdu karena gigil tubuhnya. Ia bertapa dalam pakaian campingnya, hidup dalam kefakirannya lalu merasa menjadi makhluk yang paling dicintai Allah. Tapi tak pernah wajah mereka memerah karena syari’at Allah dilecehkan. Tak pernah ia terluka melihat kezhaliman. Orang-orang semacam sufi dari Gangoh. Dialah si burung unta yang merasa aman saat membenamkan kepalanya kedalam pasir. Padahal tubuhnya tepat di depan pelupuk pemburu.
Ekstase. Kenikm atan ruhani. Kekhusyu’an. Jangan kau kejar rasa itu. Dia bukan tuhanmu. Dan tak hanya muslim yang beroleh kemungkinan merasakan ekstase macam itu. Tanyakan pada seorang beragama Budha, penganut Zen, Tao, atau praktikan Yoga. Merekapun mengalaminya lewat meditasi dan rerupa puja. Seorang Nasrani dari Ordo Fransiskan yang melarat merasakannya dalam pengembaraan berjalan kai ala kemiskinan Kristus. Seorang Nasrani dari Ordo Benediktan yang mewah menikmatinya dalam mengoleksi relik-relik suci peninggalan para bapa gerejawi.
Bukan itu.
Bukan itu yang kita cari.
Dijalan cinta para pejuang, berbaktilah pada Allah dalam kerja-kerja da’wah dan jihad. Menebar kebajikan, menghentikan kebiadaban, menyeru pada iman. Larilah menuju-Nya. Meloncatlah hanya ke haribaan-Nya. Walau duri merantaskan kaki. Sampai engkau lelah. Sampai engkau payah. Samapai keringat dan darah tumpah. Maka kekhusyu’an akan dating kepadamu ketika engkau beristirahat dalam shalat. Saat engkau rasakan puncak kelemahan diri di hadapan Yang Maha Kuat. Lalu kaupun pasrah, berserah…
Saat itulah, engkau mungkin melihat-Nya, dan Dia pasti melihatmu…
Sepenuh Cinta…
Salim A. Fillah
Labels:
New
Posting Komentar